Minggu, 23 Oktober 2022

Suku Batak adalah salah satu suku bangsa terbesar di Indonesia. Suku ini merupakan salah satu suku yang mempertahankan adat dan kebudayaannya. Hingga di masa modern ini, mereka masih memegang kuat nilai tradisi dan adat yang diturunkan oleh nenek moyang mereka. Adat dan budaya masih rutin dilaksanakan di kehidupan sosial masyarakat Batak dalam aktivitas sehari-hari. 

Salah satu falsafah suku Batak Toba yang masih dipegang kuat hingga kini adalah Dalihan Na Tolu. Falsafah ini sudah ada sejak kepemimpinan para Raja Batak, penjajahan Belanda dan Jepang, proklamasi kemerdekaan hingga terus diwariskan dan dijaga keasliannya oleh generasi Batak masa kini.

Sesuai dengan artinya yakni “Tungku nan Tiga”, Dalihan Na Tolu berperan menempatkan posisi setiap individu ke dalam tiga tungku yang akan menopang tatanan kehidupan kekerabatan mereka. Falsafah ini dilambangkan dengan tungku untuk memasak yang tersusun dari tiga batu dengan tinggi yang sama. Berdasarkan falsafah ini, terdapat tiga hubungan kekeluargaan dalam masyarakat Batak Toba, yakni Hula-Hula, Boru dan Dongan Tubu.

Pertama, Somba Marhula-hula diartikan sebagai ‘hormat kepada Hula-hula’ yang merupakan keluarga dari pihak marga istri. Hula-hula yang disebut sebagai ‘raja’ oleh suami merupakan posisi paling dihormati dalam kebudayaan Batak karena mereka merupakan sumber hagabeon/keturunan.

Kedua, Elek Marboru yang berarti lemah lembut kepada anak perempuan dan keluarga yang memperistri anak perempuan. Boru berada di tingkatan paling rendah sebagai parhobas/pelayan. Ketika ada suatu acara adat Batak, mereka yang melayani tanopa memandang status. Meski begitu, mereka tetap harus dilindungi karena suatu adat hanya dapat terlaksana karena adanya mereka.

Ketiga, Manat Mardongan Tubu yang dapat diartikan sebagai hati-hati dengan teman semarga atau teman lahir. Hubungan antar teman semarga tentu sangat erat layaknya saudara kandung, tetapi bisa saja mengalami konflik.

Setiap masyarakat Batak memiliki status yang berbeda-beda pada saat penyelenggaraan pesta adat, bisa sebagai hula-hula, boru maupun dongan tubu. Melalui falsafah ini, masyarakat Batak Toba akan tetap ‘marsipasangapan’ atau saling hormat-menghormati. Di tengah gempuran terhadap nilai-nilai budaya akibat proses modernisasi, generasi Batak Toba yang hidup di perkampungan ataupun di perkotaan pada masa ini diharapkan mampu untuk tetap menjaga dan merawat budaya Dalihan Na Tolu ini. (ADA)

0 comments:

Posting Komentar